Youth Research Camp 2018 menjadi kegiatan pertama yang membuatku berinteraksi dengan Gen Z secara intens. Sebelumnya, aku berinteraksi dengan Gen Z hanya dalam kegiatan kerelawanan, itu pun anak-anak kecil (TK-SMP). Jika pun SMA, kegiatannya sebatas mengisi pelatihan atau semacamnya. YRC 2018 menjadi pengalaman pertama bagiku menghadapi Gen Z yang duduk di bangku SMA.
Tentu saja berbeda. Perlakuan terhadap anak SMA jauh berbeda terhadap anak kecil (TK-SMP). Ketika aku meminta perhatian atau menentramkan kegaduhan terhadap anak kecil, aku cukup berteriak, “Adik-adik?—dengan nada”, lantas mereka semua akan berteriak, “Iya!—dengan nada juga”. Sontak saja perhatian tertuju 100% padaku. Sangat mudah dan menyenangkan. Tapi, cara itu tak bisa kulakukan juga pada anak SMA. Bisa dihujat nanti aku sama mereka—ngelus dada.
20 April 2018
Aku duduk di atas sofa, sedangkan mereka berdelapan sedang merekap data di atas lantai. Hari ini menjadi hari terakhir pengambilan data, yang berarti menjadi hari terakhir aku berdiskusi dengan mereka di Dieng—nyatanya tidak. Karena ini menjadi hari terakhir, aku tidak ingin melewatkan momen evaluasi seperti hari-hari sebelumnya—aku kelupaan terus. Mereka memintaku memberikan kesan satu kata untuk masing-masing orang.
Pertama, Gibran. Satu kataku untuknya adalah ambisius. Dia sangat senang mendengarnya. Bagiku sendiri, ambisius itu keren. Di saat hidup penuh kesulitan dan dunia tak kunjung berpihak, banyak sekali manusia yang kehilangan semangat dan ambisi dalam hidup. Namun, hal tersebut tak berlaku bagi orang ambisius. Entah datang dari mana, energi mereka selalu ada dan menyala-nyala. Mereka terus maju dan berusaha. Keren bukan? Tapi, kekerenan itu akan hilang seketika, ketika ambisi tersebut dilakukan dengan cara menjatuhkan orang lain. Tentu saja Gibran tidak begitu—aku harap seterusnya juga begitu. Dia menjadi salah satu adikku yang paling bisa kuandalkan dalam kegiatan ini. Semangat terus, Gibran! Semoga impianmu melanjutkan kuliah di luar negeri tercapai.
Kedua, Putri. Satu kataku untuk perempuan berpipi tembem ini adalah polos. Aku tidak bertemu dengannya ketika pelatihan di Bogor karena dia sedang berlibur di Jogja. Awalnya aku khawatir jikalau dia sama halnya dengan Audy yang suka kabur. Puji Tuhan, ternyata tidak—hahaha. Putri bukanlah perempuan yang banyak tingkah. Dia juga tidak banyak mengeluh padaku—mengeluhnya di belakang kata Hani. Senyumnya manis sekali. Pakaiannya juga modis seusianya. Dia pintar sekali memadu pakaian yang ia pakai, entah itu warna atau jenis pakaiannya. Kadang ia memakai celana sporty dengan atasan cerah, lengkap dengan sepatu. Ketika hari pemotretan di Candi Arjuna, dia memakai baju terusan berwarna hitam, tetap dengan celana panjang agar terlihat lebih modis. Pakaian yang ia kenakan selalu enak dipandang mata, ditambah dengan kepolosannya. Kepolosannya akan semakin menjadi-jadi, ketika dia dan Audy berlari-lari mengejar narasumber untuk diwawancarai. Sungguh pemandangan yang menggemaskan.
Ketiga, Tasya. Dalamnya baik/lembut, itulah kesan yang kusampaikan padanya di hari evaluasi. Dia keras kepala, begitulah pendapatku tentangnya, yang diamini juga oleh beberapa guru. Dia menampilkan dirinya sendiri sebagai orang yang keras kepala dan jutek. Namun, bukan itu kesan yang kusampaikan padanya. Suatu ketika aku melihat sisi lembut dan betapa pengertiannya dia. Namun, aku tidak berhasil menemukan faktor apa yang membuatnya menunjukkan fenomena yang begitu langka tersebut. Melihat sisi lembutnya saja mampu menentramkan jiwaku yang gundah gulana.
Tentu saja sifat keras kepala tersebut sangat wajar, apalagi dia masih muda—bahkan aku sampai sekarang juga keras kepala. Sebagai seseorang yang lebih dewasa, sudah sepatutnya aku memberikan nasihat kepadanya agar kelak menjadi pribadi yang lebih baik. Manusia yang baik adalah manusia yang bisa menempatkan diri dalam keadaan yang berbeda-beda. Ada kalanya kita harus keras, dan ada kalanya juga kita menunjukkan sisi lembut dari diri sendiri.
Keempat, Mayra. Kesanku padanya adalah pendiam dan lugu. Jujur, aku selalu merasa tertarik dengan orang yang pendiam. Aku selalu merasa ingin tahu kenapa dia begitu pendiam. Salah satu cita-citaku yang belum terwujud sampai sekarang adalah menjadi seseorang yang pendiam dan kalem—susah sekali ini. Akan tetapi, karena prinsipku yang tidak ingin ikut campur pada urusan pribadi masing-masing—khusus saat di Dieng—, rasa penasaranku terhadap Mayra kutahan. Aku tidak menanyakan kepadanya kenapa dia begitu pendiam dan bagaimana tips-tips menjadi sosok yang pendiam. Aku menahan semua itu. Sedikit sekali yang kutahu tentangnya, tapi yang pasti dalam diamnya dia telah mengamati banyak hal, yang berujung pada keterpihakan yang tepat—hahaha.
Kelima, Hani. Seharusnya dia menjadi orang yang paling kumengerti diantara yang lain, karena kita berdua memiliki minat yang sama—drama Korea. Namun sebaliknya, aku sulit memahaminya. Padahal selama ini, yang memiliki minat yang sama denganku—entah itu drama Korea, badminton lovers, dll—cenderung lebih mudah akrab dan mudah untuk dipahami. Hal itu terjadi tidak lain karena Hani sering kali menyatakan sesuatu namun berlainan dengan kata hatinya. Tentu saja aku tahu—sotoy lebih tepatnya.
Dari kelima perempuan didikku, Hani menjadi yang paling banyak mengobrol denganku. Dia orang yang cukup pintar. Dia juga berhasil mendapatkan peringkat dua di kelasnya. Namun, dia acap kali tidak percaya diri dan minder terhadap kemampuan yang dia punya, padahal sejatinya dia sangat mampu dan berpotensi.
Keenam, Fadil. Khusus untuknya aku memberikan dua kesan, yang baik dan buruk, yaitu selow dan suka meremehkan. Seperti pada cerita sebelumnya, dia merupakan sosok yang santai/selow. Naasnya, sifat tersebut dicampur dengan tabiat yang suka meremehkan. Ketika berjalan menuju homestay masing-masing seusai foto kelompok di Candi Arjuna, dia membela diri bahwa kebanyakan teman yang dia kenal juga begitu, suka meremehkan suatu hal.
Kecenderungan meremehkan dekat sekali dengan tabiat menunda-nunda waktu, yang berakibat pada masalah yang lebih besar. Aku memahami bahwa untuk menghilangkan tabiat buruk tersebut sangat sulit, karena aku pernah merasakannya. Alih-alih menghilangkan tabiat buruk tersebut, aku meningkatkan kemampuanku, sehingga aku layak meremehkan suatu hal dan menunda-nunda waktu. Itu saranku padamu—hahaha.
Begitulah kesan-kesanku terhadap mereka semua. Aku diminta memberikan kesan satu kata secara langsung dan menjelaskannya melalui tulisan. Tentu saja semua kesanku ini hanya opini pribadi berlandaskan kesotoyan belaka, yang sangat mungkin salah dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Jika ada kesan yang tidak sesuai dengan kenyataan, sangat boleh untuk dikoreksi. Sampaikan padaku ketika kita ketemu nanti ya.
Mereka memiliki karakter yang berbeda satu sama lain. Mereka unik, sehingga perlakuannya pun berbeda. Sudah tidak zaman mengadili karakter seseorang, betapa buruknya sekalipun. Mereka memberikan inspirasi baru bagiku, yaitu tentang Gen Z. Mereka membuatku untuk menahan emosi, yang cenderung meluap-luap. Mereka adalah adik-adikku—wkwkwk.
Note : Untuk Audy dan Rafif dibahas di part terakhir ya cz udah seribu kata lebih ini. Tunggu part selanjutnya! 😉
Writer : Bayu Rakhmatullah
Instagram : https://www.instagram.com/rakhmatullahbayu/