Teman Curhat

By | August 22, 2023

“I think we forget things if there is nobody to tell them.”

Kini semuanya menjadi makin jelas. Orang-orang lanjut usia cenderung pelupa karena mereka tidak memiliki seseorang untuk berbagi cerita. Quote dari film India yang beberapa waktu lalu kutonton, The Lunchbox, juga menyadarkanku bahwa teman-teman curhatku telah menyelamatkanku dari demensia …

Harus diakui bahwa berbagi cerita merupakan salah satu kebutuhan utama manusia. Bahkan orang paling introvert atau aloner sekalipun, membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita. Beruntungnya, aku memiliki beberapa orang yang mau diajak berbagi cerita, sudi mendengarkan keluh kesahku. Teman-teman curhatku tersebut dibagi menjadi empat kelompok.

Pertama, kedua saudaraku. Hingga kini persaudaraan kita berdua tetap dekat, meskipun sudah tidak tinggal satu rumah. Dengan kakak pertama beda pulau, sedangkan kakak kedua berbeda kota. Terkadang dalam keluarga, “jarak” juga bisa mendekatkan. Kita bertiga semakin jarang bertemu, bahkan bisa setahun sekali. Namun, hubungan kita bertiga sama eratnya seperti halnya ketika dulu tinggal satu rumah selama bertahun-tahun. Bahkan, dalam hal tertentu terasa lebih dekat. Jarak membuat kita bertiga lebih reflektif, intropeksi, melihat ke diri masing-masing, yang pada akhirnya bisa membuat kita lebih mengenal dan memahami satu sama lain. Lebih considerate juga. Aneh, kan? Begitulah keluarga. Aku masih sering video call dengan mereka berdua, curhat atau sekadar menyapa tiga keponakanku.

Kedua, teman dekat. Dalam kelompok ini aku cenderung lebih banyak mendengar dibandingkan yang bercerita. Teman-teman dekatku itu, yang termasuk sepantaran, bercerita banyak hal padaku, terlebih mengenai kehidupan. Krisis hidup yang tengah dialami, impian, tujuan hidup, romansa dkk. Slice of life. Mereka begitu terbuka dan nyaman denganku. Kita bisa telepon sampai berjam-jam.

teman curhat

Sumber : Unsplash

Ketiga, sahabatku. Saat ini, aku hanya memiliki satu sahabat. Dengan orang ini lebih berimbang, aku banyak mendengar dan bercerita juga. Aku bercerita apapun padanya, termasuk yang paling kelam sekalipun. Tidak ada yang tabu diantara kita berdua. Aku bisa menunjukkan perasaanku yang terdalam padanya. Dengannya, aku tidak takut dihakimi. Aku merasa aman dan nyaman ketika bercerita dengannya. Dia adalah orang yang paling memahamiku di dunia ini.

“Until you have a deep conversation with me, you’ll never really know me.”

Yang terakhir, adalah Mbak Ma. Seorang pekerja rumah tangga. Dia adalah MVP dalam ceritaku kali ini. Sebab dia adalah orang yang menyelamatkanku dari isolasi sosial. Aku adalah orang yang amat jarang berinteraksi dengan tetangga. Hanya terjadi saat papasan di gang ketika aku naik motor, menyapa dengan tersenyum, yang ditutupi oleh masker. Dengan teman-teman curhatku (kelompok) lainnya lebih sering video call atau telepon, dibandingkan mengobrol secara langsung. Walakin, mengobrol dengan Mbak Ma lebih sering obrolan ringan, alih-alih deep talk. Berkatnya lah setidaknya aku masih memiliki keterampilan untuk small talk atau sekadar basa-basi. Bagi pria lajang yang tinggal sendirian, keberadaan Mbak Ma sangat berarti bagiku. Bukan hanya perkara kebersihan rumah, tapi juga sebagai teman curhat.

Baca juga :   Seorang Introvert

Pendengar yang baik

Pendengar yang baik merupakan syarat utama untuk menjadi teman curhat yang baik pula. Dulu, aku termasuk orang yang inginnya mendominasi. Namun, seiring bertambahnya usia, aku lebih banyak mendengar, menjadi pendengar yang baik. Menjadi pendengar yang baik bukan hanya perkara tidak menyela pembicaraan orang lain, namun juga hadir seutuhnya dalam obrolan tersebut. Pendengar yang baik juga harus memiliki empati.

Tapi, memang tidak mudah menemukan seorang pendengar yang baik, yang memiliki empati, yang sudi mendengarkan cerita-cerita kita. Aku bahkan pernah zonk di suasana yang paling mendukung sekalipun.

Di pinggir pantai, di bawah langit yang gelap gulita, berhiaskan bulan dan bintang-bintang. Api unggun yang menghangatkan di malam yang dingin. Suara deburan ombak yang membuat suasana makin syahdu. Saatnya berbagi cerita. Deep talk.

Aku menceritakan kisahku yang kelam, yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Hanya segelintir orang yang pernah mendengarkannya dariku. Orang-orang terdekatku.

Aku mendapatkan respon yang sama sekali tidak ada empatinya. Aku terkejut. Bagaimana bisa vibe seperti ini malah zonk?

Kejadian itu merupakan pengalaman yang amat berharga bagiku. Kiranya deep talk memang hanya dikhususkan untuk orang-orang terdekat dan satu frekuensi.

Fenomena media sosial

Media sosial seringkali menjadi “pelarian” banyak orang. Tidak mudah mendapatkan teman yang satu frekuensi, yang mau diajak berbagi cerita. Tidak adanya teman curhat di dunia nyata, membuat orang-orang berbagi ceritanya di media sosial. Tak jarang juga yang pada akhirnya terlampau berlebihan, oversharing, hanya untuk mendapatkan atensi. Orang-orang yang kesepian itu berharap setidaknya mendapatkan perhatian di dunia maya. Sebab, di kehidupan pribadinya tidak ada yang mau mendengarkan ceritanya.

Bagaimanapun, media sosial tidak bisa menggantikan sepenuhnya obrolan langsung dengan manusia. Oleh karena itu, pertahankan jika sudah memiliki teman curhat. Seringkali “jasa” mereka dilupakan. Take for granted.

teman curhat

Sumber : Unsplash

Aku harus berterima kasih pada teman-teman curhatku yang sudi mendengarkan cerita-ceritaku, yang paling kelam atau aneh sekalipun. Gomawo.

Baca juga :   When I Was Young

Writer : Bayu Rakhmatullah

Mari Berdiskusi