Akhir-akhir ini, Bandung selalu diguyur hujan setiap harinya. Namun, sejak hari Sabtu langit berubah menjadi sangat cerah. Awan-awan hitam telah menghilang. Jika pun ada, hanya rintikan hujan yang turun.
“Ini merupakan waktu yang tepat untuk pergi wisata,” pikirku. Aku memutuskan untuk menikmati Sunset di Stone Garden pada hari Minggu. Namun, ini terlalu awal untuk berpikir positif bahwa hari Minggu tak akan turun hujan. “Bagaimana jika ternyata ketika aku disana hujan mulai turun?”, “Bagaimana jika banyak awan hitam yang menghalangi matahari?”, “Bagaimana jika …”.
Aku terlalu takut dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bahkan belum tentu terjadi. Hari Minggu terlewati begitu saja. Pagi hingga sore hujan tak kunjung datang, ketakutanku sama sekali tak menjadi nyata.
Hari Selasa kuputuskan dengan bulat untuk berangkat ke Stone Garden setelah kuliah selesai. Pada pukul 14.02, aku naik kereta dari stasiun Bandung menuju stasiun Padalarang seharga Rp. 4000. Perjalanannya membutuhkan waktu 35 menit.
Sesampainya di Stasiun Padalarang, aku naik angkot berwarna kuning jurusan Rajamandala seharga Rp. 5000. Aku sampai di gerbang depan Stone Garden pukul 15.12.
Gerombolan monyet datang menyambutku. Mereka melintasi jalan setapak sambil membawa pisang di tangannya. Mereka berhenti sejenak, menatapku seolah-olah mereka mengenalku dengan baik. Aku pamit pada mereka, melanjutkan perjalanan ke atas.
Jam menunjukkan pukul 16.00. Matahari masih gagah berdiri di atas langit. Aku memutuskan untuk duduk di gubuk yang tersebar di seluruh area Stone Garden. Gubuknya bersih. Ada 4 tiang terbuat dari kayu yang menyangganya agar tetap berdiri kokoh. Atapnya terbuat dari dedaunan pohon kelapa.
Kurebahkan badanku. Angin sepoi-sepoi mengelus wajahku. Daun-daun pohon menari-nari dibuatnya. Tarian tersebut juga menghasilkan suara layaknya sedang bernyanyi. Suaranya merdu, membuatku ingin terlelap di gubuk tersebut.
Terik matahari tidak begitu menyengat, dihalangi oleh awan-awan yang terbang di angkasa. Sesekali terdengar jelas suara pesawat melintas di atas langit.
Suasana sore hari benar-benar mendamaikan. Apalagi wisatawan yang berkunjung tak begitu banyak, karena hari ini bukan hari libur. Aku terlelap sambil tersenyum akan kedamaian ini.
Kini, matahari mulai beranjak ke peraduannya. Pelan-pelan sinar berwarna jingga menembus awan-awan.
Aku beranjak dari gubuk. Aku mencari tempat yang lebih cocok untuk menikmati detik-detik matahari benar-benar tenggelam. Tempat tertinggi adalah pilihan terbaik.
Aku memanjat batu besar yang berada di posisi paling tinggi di seluruh kawasan Stone Garden. Tempat batu itu disebut sebagai Puncak Panyawangan.
Tanganku meraih apapun yang bisa dibuat pegangan. Kakiku juga tak kalah lincah mencari spot untuk dijadikan tumpuan. Namun, batu ini memiliki ukuran yang tinggi, ditambah lagi dengan banyaknya ujung-ujung batu yang runcing.
Seketika kakiku gemetaran. Aku teringat kejadian masa lampau, ketika aku hampir jatuh dari Tebing Keraton. Aku turun kembali.
Namun, keinginanku untuk menikmati sunset di Punyak Panyawangan lebih besar daripada ketakutanku. Aku ingin sekali mengabadikan momen tersebut. Aku memperbaiki posisi celana panjang yang kukenakan. Kuikat sandalku lebih kencang.
Aku mulai memanjat kembali. Sekarang, kakiku memiliki jangkauan yang lebih lebar setelah kuperbaiki posisi celana panjangku. Aku berhasil, aku sampai di puncak tertinggi.
Aku bisa melihat seluruh kawasan Stone Garden dari sini. Hamparan batu-batu besar berdiri kokok di masing-masing tempat. Batu-batu tersebut bertebaran secara acak, namun tetap enak dipandang. Aku juga bisa melihat hamparan sawah yang berada di sisi Stone Garden.
Puluhan pelancong lokal menikmati senja dengan beragam aktivitas. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari sini.
Ada yang berfoto ria dengan sesama temannya. Ada pula yang asyik bercengkerama sambil berbaring di atas batu. Mereka bertiga menikmati pemandangan di atas langit. Bahkan ada pula sepasang kekasih yang melangsungkan foto pra-wedding di Stone Garden. Mereka berdua ditemani oleh beberapa fotografer tampak senang bisa berada disini sambil menikmati senja sore.
20 menit sebelum matahari benar-benar terbenam, datanglah segerombolan anak-anak Sekolah Dasar (SD). Mereka adalah murid salah satu Sekolah Alam di Bandung. Mereka datang kesini ditemani oleh 6 guru. Mereka mendapatkan tugas untuk mendeskripsikan wisata Stone Garden melalui sebuah cerita.
Mereka berbaris rapi menuju Puncak Panyawangan. Sebagian dari mereka menyadari keberadaanku yang tengah berdiri di atas batu. Seketika mereka berteriak, “Om om, fotoin kita dong!”. Aku mengabadikan foto mereka dengan kamera DSLR-ku.
Tidak lama kemudian, dua anak laki-laki sudah berada tepat di belakangku. Mereka berada di atas batu yang sama denganku. “Cepat sekali mereka memanjatnya,” pikirku. Kemudian, mereka memamerkan diri pada teman-temannya sambil berteriak, “Woi, aku ada di atas sini.”
Hanya selang tiga menit, mereka berdua diminta turun oleh seorang guru laki-laki.
“Mereka berdua sangat berani Pak,” pujiku pada mereka berdua.
“Iya, mereka memang berani, tapi kita sebagai guru yang ketakutan jika terjadi apa-apa pada mereka,” jawabnya.
Murid-murid ini hanya berada disini sekitar 15 menit saja. Mereka tidak menemaniku untuk menikmati detik-detik matahari ditelan cakrawala.
5 menit menuju matahari benar-benar tenggelam. Sinar jingganya semakin terang. Awan-awan tak kuasa menahan sinarnya yang begitu megah nan mempesona. Alunan pujian-pujian sebelum adzan maghrib menemani pemandangan ini. Kulihat di sekitar, para wisatawan khusyuk menikmati momen ini layaknya upacara adat yang sakral.
Sang matahari sepenuhnya tenggelam sekarang. Dia menampakkan diri di sela-sela awan yang menyelimutinya. Sebagian cahaya jingganya menyinari seluruh kawasan Stone Garden secara langsung dan sisanya menembus awan.
Mataku tak berkedip dibuat oleh peristiwa yang terjadi tiap hari ini. Aku terpaku, sampai aku lupa untuk mengabadikan momen yang menakjubkan ini. Berkali-kali aku memuji sang Pencipta atas nikmat diberikannya kesempatan untuk menikmati pemandangan senja matahari. Sungguh indah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kehangatan matahari sore itu benar-benar membekas pada diriku. Dia seolah memintaku untuk mengajak orang yang spesial untuk menikmati momen ini selanjutnya, bukannya sendirian. Aku membalasnya dengan tersenyum getir.
Tidak banyak wisatawan yang menemaniku menikmati senja sore ini. Sebagian telah pulang lebih awal. Padahal, untuk wisatawan yang menggunakan kendaraan umum tidak perlu khawatir meskipun pulang malam. Angkot menuju stasiun Padalarang ada sampai malam. Sedangkan, jadwal kereta menuju Bandung juga ada sampai tengah malam.
Aku pulang. Aku kembali ke Bandung dengan wajah berseri-seri. Petualangan ini mengisi penuh energiku, agar aku semangat menjalani hari-hari selanjutnya.
“Sampai jumpa kembali Stone Garden. Semoga selanjutnya aku tidak sendirian datang kesini.” Aku tersenyum getir lagi.
Writer : Bayu Rakhmatullah