“Coba lihat Rangga! Nilai matematikanya 100. Padahal dia tidak ikut les. Kamu yang ikut les cuma 90.”
“Kamu kok gak seperti Ratna sih? Dia rajin baca buku, penurut, suka bantu ibunya. Kamu? Minta uang mulu.”
Pernahkah kalian mendengarkan omelan seperti itu ketika kecil dulu?
Sudah menjadi rahasia umum bahwasannya “membanding-bandingkan” menjadi salah satu cara yang digunakan banyak orang tua dalam mendidik anak. Alasannya adalah agar anak lebih termotivasi. Klise!!!
Evaluasi terhadap diri paling mudah dilakukan dengan membandingkan diri terhadap orang lain. Dan perbandingan terhadap orang lain paling mudah dilakukan dengan melihat tampilan luar (Kompas). Mudah sekali memang perkara membanding-bandingkan tersebut. Padahal, dalam rangka evaluasi dan motivasi tidak harus menempuh jalan membanding-bandingkan dengan orang lain, terlebih cara paling mudah tersebut memiliki dampak buruk pada anak.
Ketika orang tua terbiasa membandingkan anak dengan orang lain, maka akan timbul rasa diri kurang. Bahwasannya anak tidak pernah memenuhi kriteria ideal orang tua, sehingga terus dibandingkan dengan orang lain. Akan muncul pula perasaan tidak berharga dan minder sebagai akibat lanjutan dari kebiasan dibandingkan-bandingkan.
Tidak hanya itu, anak yang biasa dibandingkan-bandingkan dengan orang lain sejak kecil akan kesulitan melakukan introspeksi diri. Mereka bingung karena sejak kecil “diajarkan” yang menjadi bahan perbandingan adalah orang lain, bukan dirinya sendiri. Kelak, untuk menilai dirinya sendiri mereka akan lebih mudah dengan membandingkan diri dengan orang lain, alih-alih melakukan introspeksi, refleksi, dan kontemplasi.
Sekarang, “rasa diri kurang” makin dikuatkan oleh kebiasaan menghabiskan waktu menggunakan media sosial dan membandingkan diri dengan orang-orang lain yang dipersepsikan tampil serba lebih keren.

Sumber : Pixabay
Akan terulang kembali
Tanpa disadari, ketika anak menjadi orang tua, mereka akan kembali menjadikan anaknya korban, membandingkannya dengan orang lain. Kesalahan terbesar orang tua dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka lupa akan masa kanak-kanak mereka sendiri. Mereka lupa bahwa mereka sendiri ketika kecil dulu juga membenci ketika orang tuanya membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Seperti lingkaran setan, hal ini akan terus berulang kecuali benar-benar berubah, berhenti membandingkan segala hal dengan orang lain.
A : What do you think is the biggest mistakes parents make in raising their children?
B : Um, not to remember their own childhood. I think that the best thing that we can do is to think about what is was like for us and know what our children are going through.
A : It’s so hard once you get to be a parent. You always say, “I will never do this,” when your mother or father is dong it to you. You say, “I will never do this to my child.” And then you get to our age and you forget what it was like to be this size. You really do forget.
B : Well, but those children can help re-evoke what it was like. That’s why, when you’re a parent, you have a new chance to grow.
*Merupakan kutipan dialog dalam film A Beautiful Day in The Neighborhood.
Orang tua juga harus senantiasa belajar
Bukan hanya anak, orang tua juga harus belajar. Menjadi orang tua juga berarti mereka memiliki kesempatan untuk belajar hal baru. Dunia terus berkembang dan berubah. Anak-anak pun juga begitu, sehingga perlu untuk dipahami, dengan menempatkan diri sebagai anak. Cara mendidik anak pun tidak melulu harus turun-temurun, mengikuti cara mendidik anak zaman orang tua dulu.

Sumber : Pixabay
Stop kebiasaan membandingkan anak dengan orang lain. Sebagai orang tua, sudah sepatutnya mencintai anak tanpa syarat (unconditional love). Mulailah belajar mencintai anak tanpa harus menetapkan kriteria ideal, tanpa menuntut kesempurnaan pada anak dan tanpa membandingkan anak dengan orang lain. Dengan begitu, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang mencintai dan menerima dirinya sendiri apa adanya.
Writer : Bayu Rakhmatullah