Malam terasa begitu panjang. Skenario buruk memenuhi pikiranku, diputar satu per satu laiknya maraton drama Korea, membuatku terus terjaga. “Episode” itu kembali lagi. Insomnia menyerangku sekali lagi.
Yang menyebalkan dari insomnia adalah tubuh dan pikiran ini ingin sekali tidur (istirahat), namun pikiranku juga yang menghalanginya untuk tidur. Isi kepalaku dipenuhi berbagai pikiran, kemungkinan buruk, berbagai pengandaian yang tak ada habisnya. Pikiranku sendiri lelah untuk berpikir, hingga akhirnya aku tertidur. Ketika bangun, aku tidak ingat/sadar bagaimana pada akhirnya aku bisa tertidur. Pagi terasa hampa, tubuhku masih lemas karena kualitas tidurku buruk.
Malamnya, aku mengalami kesulitan tidur kembali. Insomnia itu berlangsung selama beberapa hari. Tidur yang biasanya dilakukan sebagai mekanisme pertahanan ketika stres tak bisa kulakukan lagi. Produktivitasku menurun, pekerjaan enggan disentuh.
Mantra “ini pasti juga akan berlalu” tidak serta merta membuat waktu terasa lebih cepat dan beban menjadi lebih ringan. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyerah saja?
Curhat
Aku memutuskan untuk curhat ke salah satu orang terdekatku. Aku menumpahkan segala keluh kesah dan kekhawatiranku padanya. Aku menangis.
“Kenapa gak coba ini saja?”
“Bagaimana kalo coba yang itu saja?”
Semua yang disarankannya telah aku coba. Aku sudah putus asa. Namun, setelah aku curhat padanya hatiku lega. Meskipun tidak ada solusi tepat yang ditawarkannya.
Kiranya memang itulah esensi dari curhat, yaitu berbagi cerita agar hati lega. Bukan sekadar untuk mencari solusi, namun berbagi sudut pandang. Tak masalah jika tidak menemukan solusi yang konkret, yang penting adalah hati yang lega. Oleh karena itu, milikilah setidaknya satu orang yang bisa diajak berbagi cerita. Itu penting sekali bagi hidupmu. Bercerita kepada seorang manusia memiliki kekuatan tersendiri yang tidak dimiliki dari sekadar bercerita ke buku diary.
Secercah harapan
Sekonyong-konyong solusi muncul, seakan-akan semesta mendukungku, tapi juga mengolok-olokku agar tidak menyerah. Kenapa secercah harapan itu muncul ketika aku sudah memutuskan untuk menyerah? Kenapa baru muncul setelah aku putus asa terlebih dahulu? Kenapa tak menampakkan diri lebih awal?

Sumber : Unsplash
Pengalaman menyakitkan ini menyadarkanku bahwa hal seperti ini memiliki pola. Bahwasannya ketika aku memutuskan untuk berbagi cerita pada orang lain sepenuh hati, kemudian hatiku menjadi lega, secercah harapan itu muncul tanpa diundang.
“Hope is a dangerous thing. Hope can drive a man insane.”
Walakin, aku tetap saja menyambut secercah harapan itu dengan suka cita. Namun, sampai kapan itu terus berulang? Sampai kapan hingga aku boleh benar-benar menyerah? Hidup itu sama sekali tidak mudah, ya?
Writer : Bayu Rakhmatullah