“Bagaimana kalo kita menetapkan target, sebelum kita berjumpa di Austria, kita harus memiliki sahabat baru,” ikrarku padanya melalui telepon.
Aku tiba-tiba mengusulkan ide tersebut karena kita berdua sama-sama sedang mengalami fase kesepian, membutuhkan seseorang untuk diajak bercerita dan berkeluh-kesah, namun juga dekat secara fisik. Aku berada di Indonesia, sedangkan dia di Austria, beda benua. Dia adalah Vania, sahabatku satu-satunya. Dia juga memiliki satu sahabat lain, tapi juga beda negara, Thailand.

Sumber : Unsplash
Vania bercerita bahwa ia membutuhkan seseorang sebagaimana aku, namun juga tinggal dekat dengannya. Oleh karena itu, aku mengusulkan untuk memiliki sahabat baru.
Usia pertemanan kita sudah menginjak 8 tahun, sedangkan memulai Long Distance Frienship tiga tahun yang lalu. Dia sudah beberapa kali kuceritakan melalui blog ini dan seringkali menjadi sumber inspirasiku untuk menulis suatu cerita.
Persahabatan kita sudah sampai pada tahap apapun yang dia/aku lakukan, tidak akan jadi masalah. Kita akan mendukung satu sama lain, apapun yang dilakukan. Karena kita berdua sama-sama tahu alasan dibaliknya. Karena kita berdua begitu saling memahami satu sama lain. Dia menjadi salah satu orang yang paling memahamiku, begitu pula sebaliknya aku adalah orang yang paling memahaminya. Dan kita berdua membutuhkan sahabat baru yang seperti itu, tapi yang keberadaannya tidak jauh.
“If you get to know a person, nothing they do bothers you.” – My Mister
Kita menyadari bahwa teknologi tidak bisa sepenuhnya menggantikan interaksi tatap muka secara langsung. “Yuk ketemuan!” terpaksa diganti dengan “pengen telepon!”. Terkadang perbedaan zona waktu yang cukup panjang juga mempengaruhi komunikasi kita berdua, ditambah kesibukan masing-masing. Oleh karena itu, aku mengusulkan kita berdua untuk menemukan sahabat baru.
Kegagalan persahabatanku
Sebenarnya aku mempunyai beberapa sahabat, namun semuanya kandas, hingga menyisahkan dia seorang. Kandasnya hubungan itu dikarena dia/mereka melakukan kesalahan yang amat besar (yang saat itu tidak bisa kutoleransi). Meskipun kini aku menyadari bahwa alasan lainnya adalah saat itu aku tidak cukup dewasa menghadapinya.
Seperti kata orang-orang, menginjak usia dewasa kamu akan mendapati bahwa lingkar pertemananmu semakin mengecil. Satu per satu temanmu akan meninggalkanmu. Bukan karena adanya konflik, melainkan (kebanyakan) sudah tidak satu frekuensi lagi. Setiap orang sibuk dengan hidupnya masing-masing. Dan itu wajar.
Dulu, aku pikir “satu frekuensi” bukanlah hal besar dalam suatu pertemanan. Tapi aku salah. Satu frekuensi itulah yang membuat pertemanan bertahan lama. Begitu pula dengan persahabatanku dengan Vania.



Sumber : Unsplash
Kita berdua menyadari betul bahwa memperoleh sahabat yang satu frekuensi sama sekali bukan hal yang mudah. Seperti bergantung pada kebetulan, bukan diupayakan. Seperti sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat satu sama lain. Bagi seseorang (read : aku dan Vania) yang cenderung enggan dan takut menjalin hubungan romantis, mencari sahabat baru menjadi lebih masuk akal.
Maukah kamu menjadi sahabatku? Iya, kamu!!!
Writer : Bayu Rakmatullah