Rumah

By | November 24, 2021

Angin bertiup kencang, membuat tendaku bergoyang-goyang. Hujan turun, yang kadang deras dan hanya rintik-rintik. Cuaca di sini benar-benar tidak menentu. Dinginnya malam membuatku terus terjaga, meskipun aku sudah memakai jaket dan kaos kaki. Malam itu, aku merenung banyak tentang rumah.

“Beruntung aku memiliki rumah yang melindungiku dari hujan dan dinginnya malam,” pikirku. Lagi-lagi berkemah menyadarkanku betapa pentingnya memiliki rumah, dan betapa bersyukurnya aku yang selama ini cenderung take it for granted keberadaan rumah itu sendiri.

Rumah idaman

Sumber : Pixabay

10 tahun terakhir, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di luar rumah, entah itu karena merantau, jalan-jalan, atau melakukan perjalanan panjang. Hanya dua tahun terakhir ini, aku menghabiskan lebih banyak waktuku di rumah. Dalam waktu yang cenderung singkat, aku yang jarang di rumah tiba-tiba menjadi orang yang homey. Ketika berkunjung ke rumah sanak saudara, inginnya cepat-cepat pulang, merindukan rumah dan seisinya. Aneh sekali.

Arti rumah

Malam itu, aku juga merenungi arti rumah itu sendiri. Bagiku, rumah itu bukan sekadar bangunan yang melindungiku dari teriknya matahari, hujan dan dinginnya malam, melainkan lebih dari itu. Istilahnya home, bukan sekadar house. Rumah menjadi tempat paling nyaman untuk berbaring dan beristirahat setelah lelah bekerja. Di rumah pula aku bisa menjadi diriku sendiri seutuhnya, karena memang nyaman, baik itu dengan tempatnya dan orang-orangnya. Perasaan nyaman menjadi koentji dari rumah itu sendiri.

Rumah idaman

Rumah idaman

Sumber : Pixabay

Aku sendiri memiliki dua versi rumah idaman, yang dua-duanya ingin kucoba (semoga menjadi nyata, setidaknya salah satunya). Aku ingin sekali memiliki rumah di daerah pegunungan, menghabiskan sisa hidupku di daerah yang udaranya masih segar dan bersih. Rumah yang memiliki pekarangan luas, yang bisa ditanami berbagai macam tanaman sayuran. Aku bisa memanen sayuran tersebut setiap hari, untuk bahan makanan sehari-hari (metode permakultur). Setiap paginya, aku duduk di beranda rumah sambil menikmati pemandangan, ditemani dengan koran dan kopi. Siang/sorenya, karena suhu yang tetap dingin di daerah pegunungan, aku bisa jalan kaki, mengelilingi kampung itu sendiri. Membayangkannya saja sudah membuatku bahagia.

Baca juga :   Sahabat Baru

Versi kedua adalah rumah berbentuk mobil karavan. Sudah lama sekali aku memiliki mimpi ini, diperkuat lagi setelah nonton film Nomadland. Sebelum Covid-19 menyerang, aku rutin melakukan perjalanan panjang. Aku pernah melakukan roadtrip menggunakan motor selama berbulan-bulan, juga pernah backpacker selama berbulan-bulan. Dalam perjalanan tersebut, aku tinggal/menginap di tempat yang berbeda. Dari rumah teman ke rumah teman yang lain, dari hotel satu ke hotel yang lain, juga berkemah di satu tempat ke tempat lain. Begitu seterusnya. Berpindah-pindah tempat sambil membawa tas carrier yang berat bukanlah perkara mudah. Terus muncul ide, bagaimana jika memiliki rumah yang bisa dibawa ke mana-mana, aka mobil karavan? Asyik kelihatannya, jalan-jalan ke satu tempat ke tempat lain, keliling Indonesia misalnya, tapi senantiasa merasa ada di rumah sendiri.

“My mom says that you’re homeless, is that true?”

“No, I’m not homeless. I’m just house-less. Not the same thing, right?”

Cuplikan dialog film Nomadland.

Milenial diperkirakan kian sulit memiliki rumah idaman

Memiliki rumah idaman bukanlah perkara mudah. Berbagai riset yang dimuat di media massa menyatakan bahwa kaum milenial semakin sulit memiliki rumah idaman, dikarenakan harga rumah yang kian mahal dan tak terjangkau. Sekalipun ada bantuan dari pemerintah berupa KPR (Kredit Pemilikan Rumah), butuh waktu 15-30 tahun untuk mencicilnya, hingga benar-benar memiliki rumah.

“It’s strange that you encourage people to invest their whole life savings, go into debt, just to buy a house they can’t afford.”— Nomadland

Aku pribadi tidak berencana menjadi orang yang berhutang selama bertahun-tahun hanya untuk memiliki rumah. Aku setuju dengan pernyataan Fern di film Nomadland. Jika memang aku tidak/belum mampu memiliki rumah (tidak memiliki uang tunai seharga rumah idaman itu), ya tidak beli rumah.

Baca juga :   Keluar Dari Zona Nyaman?

Oleh karena itu, beruntung anak-anak yang sudah disediakan rumah oleh orang tuanya jauh-jauh hari. Sebenarnya, aku juga termasuk orang yang beruntung. Jika nantinya ternyata aku tak kunjung sanggup memiliki (membeli) rumah idamanku sendiri, aku tidak akan gengsi tinggal di rumah yang diberikan oleh orang tuaku.

Namun, sebelum hal itu terjadi, aku akan berjuang keras untuk mewujudkan impianku memiliki rumah idaman. Semoga aku dan juga kalian, bisa memiliki rumah idaman nantinya. Fighting!!!

 

Writer : Bayu Rakhmatullah

6 thoughts on “Rumah

  1. De Ihat

    Baru kerasa arti “home” setelah merantau, itu yang aku alami. Dulu pas zaman sekolah ingin minggat dari rumah, gak betah lama-lama di rumah. Eh sekarang udah tinggal di asrama malah kangen rumah dan kalau hari libur datang lebih sering menghabiskan waktu di rumah daripada main keluar sama temen-temen

    Reply
  2. ainun

    wishlist nih pengen roadtrip naik campervan dan milih negara New Zealand. kayaknya alam di sana cakepp banget plus emang paling tepat ya pake campervan gini
    sejauh apapun ngetrip, rumah emang ngangenin ya

    Reply

Mari Berdiskusi