
Sumber : Stocknap.io
Kenapa begitu banyak sekali terjadi perceraian dalam berumah tangga? Apakah perceraian menjadi tren akhir-akhir ini? Semudah itu kah bercerai? No, perceraian tidak pernah menjadi pilihan yang mudah dalam berumah tangga.
Tulisan ini bukan lantaran Song Song Couple, yang belakangan ini menjadi berita heboh, termasuk di Indonesia. Tulisan ini dilatarbelakangi oleh tulisan berjudul “Pertemanan Baru Suami” di koran Kompas, edisi 29 Juni 2019.
Jika perceraian adalah keputusan yang mudah, maka seharusnya aku sudah berhasil membuat orang bercerai. Aku pernah memiliki misi membuat orang bercerai, bahkan dua orang sekaligus. Satunya gagal, yang kedua tak kunjung berhasil.
Ada begitu banyak faktor yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk bercerai, oleh karena itu perceraian tidak pernah menjadi pilihan yang mudah. Jika sudah ada anak diantara keduanya, maka anak menjadi pertimbangan utama. Bagaimana nantinya hidup anak tanpa ayah/ibu di sekitarnya? Bagaimana nantinya jika anak menjadi broken home? Dan masih banyak pertimbangan lain mengenai anak.

Sumber : Stocknap.id
Jika tidak/belum memiliki anak atau anak sudah mandiri, maka pertimbangannya adalah tentang diri masing-masing. Jika bercerai, maka tidak ada lagi yang mengurus rumah tangga/tidak ada lagi yang diurus. Tak jarang juga sumber penghasilan menjadi pertimbangan sebelum memutuskan untuk bercerai. Jika bercerai, maka sumber penghasilan akan berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali. Dan masih banyak lagi pertimbangan lain mengenai diri masing-masing sebelum memutuskan bercerai. Sulit bukan untuk sekadar bercerai?
Dari berbagai macam pertimbangan, ada pertimbangan yang paling menyedihkan, menurutku. Omongan orang lain menjadi pertimbangan sebelum memutuskan untuk bercerai. Akan semakin menyedihkan ketika pertimbangan tersebut menjadi yang utama.
Divorce is nothing to be ashamed of.

Sumber : Stocknap.io
Tidak perlu malu. Tidak perlu memedulikan yang orang lain pikirkan. Perlu diketahui bahwa tujuan dari pernikahan dan perceraian itu sama, yaitu kebahagiaan. Sayang sekali jika kebahagiaan itu digadaikan hanya karena takut akan komentar orang lain kelak.
Sekarang mari membahas faktor penyebabnya. Ada banyak faktor pula yang menyebabkan perceraian dalam berumah tangga. Mari membahas dua penyebab, yang belakangan ini juga marak dibahas. Pertama, perselingkuhan. Perselingkuhan telah banyak memakan korban pernihakan. Fenomena ini juga melahirkan istilah beken, yaitu pelakor (perebut laki orang) dan pebinor (perebut bini orang). Wajar sekali jika seseorang memutuskan untuk bercerai ketika pasangannya telah berselingkuh dengan orang lain.
Emosi sesaat? Setiap orang melalukan kesalahan, bukankah seharusnya ada maaf dan kesempatan kedua?
Jangan bercanda! Seperti yang telah aku utarakan, bahwa perceraian tidak pernah menjadi pilihan yang mudah. Butuh pertimbangan yang matang dan waktu yang tidak sebentar sebelum menentukan untuk benar-benar bercerai.
Kesempatan kedua? Ketika seseorang berselingkuh dengan orang lain, maka dia telah menganggap bahwa pasangannya pantas untuk diperlakukan seperti itu, dengan kata lain pasangannya sudah tidak berharga lagi atau matipun tak masalah. Selingkuh pun juga tidak dilakukan dengan emosi sesaat dan waktu singkat. Maka sangat wajar jika seseorang memutuskan untuk bercerai, bahkan tanpa memberikan kesempatan kedua. Yang aneh adalah ketika seseorang menoleransi perselingkuhan tersebut. Sungguh sangat sabar, bukan?
Kedua, perbedaan kepribadian. Alasan ini yang tengah popular, akibat penceraian Song Song Couple. Klise? Tuman—sambil nabok orang yang bilang itu! Terdengar klise memang, tapi memang begitulah adanya. Ketika ada perbedaan—apapun itu—yang tidak bisa diatasi/toleransi dalam suatu hubungan, maka ujung-ujungnya adalah sebuah penderitaan.
“Living with someone who has completely different mindset is no better than death.”
Masih bilang klise?
Perceraian yang kian marak ini membuat anak muda sekarang takut/enggan untuk menikah.
“Ngapain menikah jika ujung-ujungnya cerai?”
Bukan skeptis, hanya saja tidak ingin melakukan hal yang percuma ketika tahu ujungnya seperti itu. Juga tidak ingin membiarkan hati terluka begitu saja—eaa. Namun, fenomena enggan menikah tersebut juga diimbangi dengan gerakan menikah muda. Manakah fenomena yang lebih mendominasi nantinya, khususnya di Indonesia?

Sumber : Stocknap.io
Apakah aku termasuk dalam golongan yang skeptis terhadap pernikahan ?
Dulu, aku pernah merasa enggan untuk menikah atau nanti saja menikahnya. Aku begitu menikmati keadaanku. Aku enggan mengorbankan kebebasan menjadi single. Maka dari itu, aku sangat kagum dengan orang-orang yang memutuskan untuk menikah muda. Mereka sangat pemberani.
I just like how things are now. I don’t want to give up the freedom of being single.
Kemudian, ada momen aku harus mengesampingkan prinsip tersebut. “Aku harus segera menikah.” Wanita pujaanku merupakan wanita yang diidam-idamkan oleh banyak pria. Aku harus segera melakukan tindakan. Namun, aku gagal dan patah hati. Aku menjadi enggan lagi untuk menikah. Bangsat! Bajingan! Dasar lemah!
NB : Tulisan ini hanyalah opini dari seseorang yang sama sekali tidak berpengalaman dalam pernikahan ataupun rumah tangga.
Writer : Bayu Rakhmatullah