Beberapa tahun terakhir, fenomena melajang di kawasan Asia (China, Jepang, Korea Selatan dkk) menjadi perhatian tersendiri. Fenomena ini menyebabkan angka kelahiran yang rendah, hingga pemerintah ikut turun tangan, salah satunya melalui pemberian subsidi bagi yang mau memiliki anak. Jumlah penduduk yang menua mulai meninggi membuat pemerintah takut nantinya ekonomi menurun.
Di Korea Selatan, orang-orang berusia di atas 30 tahun belum menikah merupakan hal yang biasa. Mereka memilih fokus berkarir terlebih dahulu. Fenomema itu juga kerap kali ditampilkan melalui drama-drama Korea.

Sumber : Unsplash
Bagaimana dengan di Indonesia?
Belum menikah di usia yang sudah menginjak 30 tahun merupakan hal yang tidak wajar di Indonesia. Sebelum usia 25 tahun saja sudah diwanti-wanti untuk segera menikah, terlebih bagi perempuan. Mungkin fenomena melajang—usia 30an belum menikah—banyak ditemui di kota-kota besar, misal Jakarta. Tapi tidak (jarang sekali) di pedesaan.
Kiranya memutuskan untuk melajang di pedesaan memiliki tantangan yang lebih berat dibandingkan di kota. Cibiran berdatangan, alih-alih dukungan. Sebaliknya, lingkungan di kota yang mendukung (banyak dijumpai orang-orang yang melajang) memberikan kemudahan tersendiri. Alih-alih mencibir, mereka yang senasib (untuk fokus berkarir) memberikan dukungan satu sama lain.
Tidak menikah identik dengan tidak laku, terlalu pemilih, egois, bahkan dianggap tidak normal (orientasi seksualnya). Stigma tersebut masih kuat di Indonesia. Padahal tidak begitu.
Alasan sebenarnya
- Menikah merupakan salah satu keputusan besar dalam hidup ini, sekaligus membutuhkan tanggung jawab yang besar dan juga biaya yang tidak sedikit. Tidak semua orang memiliki kemampuan, baik secara finansial ataupun mental untuk menikah.
- Ya tidak ingin menikah. Ada orang-orang yang memang ingin menghabiskan hidupnya sendirian, tanpa pasangan. Mereka merasa nyaman sendiri dan tak ingin kenyamanan serta kebebasan mereka terenggut dengan menikah.
- Trauma juga bisa menjadi alasan seseorang untuk tidak menikah. Misalnya broken home, menyaksikan secara langsung gagalnya pernikahan, entah itu karena perselingkuhan, kekerasan atau masalah lainnya yang kerap kali menjadi batu sandungan pernikahan. Trauma yang ditimbulkan oleh orang-orang terdekat memberikan rasa sakit dan trauma, hingga enggan untuk menikah.
- Bahkan ada juga alasan luhur yang melatarbelakangi untuk tidak menikah. Karena tidak cukup “mampu”, seseorang memutuskan untuk tidak menikah. Ia takut nantinya malah menyakiti pasangannya. Ada juga yang ingin berkonstribusi mengurangi kepadatan penduduk dunia (ini lebih ke childfree sih).
Ada yang terus ditolak. Ada yang terus gagal dalam hubungan percintaannya. Kegagalan yang terjadi, lagi, lagi dan lagi membuat mereka putus asa dan jengah, hingga mereka memutuskan untuk melajang saja. Ada juga yang memang misogami, enggan menikah. Dan itu wajar.
Aku memiliki teman, dia bercerita padaku bahwa salah satu alasan dia tak kunjung menikah hingga kini adalah karena dia merasa tidak mampu menjadi ayah yang baik. Dia tidak memiliki sosok ayah panutan, karena ayahnya sendiri meninggalkan dia sedari kecil. Bahkan hingga kini ayahnya tak pernah berjumpa lagi dengannya.
Para lajang ini seringkali “diserang” dengan pertanyaan “kapan menikah?” ketika kumpul-kumpul keluarga. Maka tidak heran jika ada yang memilih untuk menghindari kumpul-kumpul keluarga.
Kapan menikah? Kenapa tak kunjung menikah? Sebaliknya, jarang yang menanyakan “kenapa menikah?” kepada orang-orang yang akan menikah. Tidak adil kan?
“Aku khawatir padamu. Aku ingin yang terbaik untukmu.”
Cih, sumpel mulutnya. Jika memang benar-benar peduli, seharusnya yang ditanyakan terlebih dahulu adalah :
“Apakah kamu bahagia? Apakah kamu bahagia melajang?”
“Jika kamu memang ingin berkencan, aku bisa membantumu untuk mengatur kencan buta. Jika hanya jika kamu bersedia.”
Bahkan sampai akhir pun tidak ditanyakan. Menikah bukan jalan satu-satunya untuk bahagia.
Anehnya adalah sebagian yang terus bertanya dan mendesak tentang menikah adalah orang-orang yang jelas-jelas gagal dalam pernikahannya. Sungguh ironi bukan?
“Budaya Indonesia memang belum bisa menerima orang yang tidak menikah. Pernikahan sebagai keharusan, bukan pilihan seperti di negara-negara maju.”
Dan ketika mereka bertanya tentang alasanmu tidak/belum menikah, kamu tidak harus menjawabnya. Kamu tidak berhutang penjelasan apapun pada orang lain mengenai pilihan hidupmu. Tidak ada yang berhak menghamiki seseorang yang memilih untuk lebih fokus pada karirnya.

Sumber : Unsplash
Manusia yang utuh
“We are complete with or without a mate, with or without a child. That decision is ours and ours alone.”
Jika memang kamu bahagia menjalani hidup sebagai lajang, ya lakukan saja. Jika kamu ingin fokus pada karir, atau ingin mewujudkan impianmu terlebih dahulu, ya lakukan saja. Tidak apa-apa untuk menikah di usia 30 tahun ke atas. Pun tidak apa-apa untuk tidak menikah. Tidak ada yang boleh memaksakan kehendak padamu, sekalipun itu orang tuamu sendiri. Kamu adalah manusia yang utuh, baik itu menikah atau tidak.
“If you think you would be fine living on your own, just do that. It’s okay for you to do that.” – My Liberation Notes
Aku jadi teringat dengan drama My Liberation Notes. Andai saja semua orang (khususnya orang tua) seperti ayah ketiga bersaudara tsb. Walakin awalnya keras kepala, pada akhirnya ia berubah. Dia mencoba untuk lebih memahami anaknya, alih-alih sekadar memaksa.
Kabar baiknya adalah . Anak-anak muda zaman sekarang cenderung aware dan terbuka dengan isu tsb. Mereka juga memahami bahwa itu adalah pilihan hidup masing-masing. Mereka tidak berhak mencampuri urusan orang lain.
Jika selama ini orang-orang hanya mengucapkan selamat kepada yang telah menikah, ijinkan aku mengucapkan selamat kepada kalian yang melajang. Selamat melajang. Semoga kalian senantiasa bahagia.
P.S. : Untuk kalian yang hobi bertanya kapan nikah, kapan nikah, kapan nikah? Bajingan kalian!!!
Writer : Bayu Rakhmatullah