“How quickly accidents happen. Then one returns to the old life.” – A Room With A View
Ironi memang, tapi begitulah adanya. Terkadang, kita ingin “berkabung” untuk selamanya, namun tidak seperti itu dunia bekerja. Kalo kata orang-orang, life must go on. Cepat atau lambat.
Aku sendiri termasuk orang yang sentimental, biasanya terlalu terbawa suasana. Oleh sebab itu, aku membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk move on.
Seminggu yang lalu, aku mendapati bahwa penjual tahu walik langgananku telah tiada. Pada siang hari, seorang pembeli mendapati penjual itu tengah istirahat di amben dan ingin membangunkannya. Ia tak kunjung bangun. Ia telah tidur untuk selamanya …
Sorenya, aku mendengarkan kabar itu dengan cara yang tidak biasa. Aku terkejut, aku sudah merencanakan hari itu akan beli tahu walik. Aku tak bisa berkata apa-apa. Hatiku sedih. Aku kehilangan penjual camilan langgananku. Saking sedihnya, aku sampai bisa menulis puisi tentangnya, “Tidak Ada Tahu Walik Mulai Hari Ini”. Sudah lama sekali sejak terakir kali aku menulis puisi—terkadang, kesedihan merupakan bahan bakar yang ampuh untuk menulis puisi.
Beberapa waktu yang lalu juga (sebelum kematian penjual tahu walik), aku mengunjungi kerabatku di rumah sakit. Dia masih muda, tapi sudah mengidap penyakit yang cukup parah. Dia tampak tak berdaya, lemas dan susah tidur. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, pikiranku melayang ke mana-mana, kebanyakan overthinking yang tidak-tidak. Khawatir dia mati dkk.

Sumber : Unsplash
Dua kejadian yang berdekatan itu memengaruhi kegiatanku selama beberapa hari. Suasana hatiku berantakan. Hal itu mengingatkanku, dulu aku pernah latihan “mengeraskan hati” agar tidak mudah terbawa suasana. Aku melakukan apapun agar hatiku senantiasa “kuat”. Salah satu bentuk latihannya yaitu ketika ada orang yang kecelakaan di pinggir jalan, alih-alih berhenti, lalu melihat sejenak, atau bahkan mendokumentasikannya seperti kebanyakan orang, aku melengos begitu saja. Menoleh pun tidak. Latihan-latihan “mengeraskan hati” itu kulakukan dengan dalih untuk melindungi diriku sendiri.
Hingga kemudian aku tersadar bahwa latihan itu adalah bumerang bagiku. Itu juga bom waktu yang suatu saat nanti malah menghancurkan diriku.
“We rip out so much of ourselves to be cured of things faster than we should that we go bankrupt by the age thirty and have less to offer each time we start with someone new. But to make yourself feel nothing so as not to feel anything. What a waste!” – Call Me by Your Name
Aku menyadari bahwa move on itu tidak harus cepat-cepat. Kalau sedih, ya, sedih saja. Tidak perlu dialihkan segala. Aku membiarkan diriku sembuh dengan sendirinya. Oleh sebab itu, kini aku tidak pernah menasihati orang lain untuk cepat-cepat move on. Setiap orang memiliki cara dan batas waktu untuk move on.
Ketika aku benar-benar bisa move on, sembuh sepenuhnya, aku bisa mengenang momen itu sambil tersenyum, atau bahkan tertawa. Aku mengenangnya sambil menikmati hujan dari balik jendela kamarku, dengan segelas kopi di tangan. Seakan-akan aku bisa “menikmati” kesedihan yang kurasakan. Move on itu tidak harus cepat-cepat …
Now playing : This Feeling — Alabama Shakes
Writer : Bayu Rakhmatullah