Dewasa ini, memperoleh informasi berupa berita merupakan hal yang sangat mudah, mengetik keyword di layar handphone, kemudian muncul berita yang dimaksud dengan berbagai sumber. Dahulu, berita pada umumnya didapatkan melalui membaca koran atau menonton televisi. Namun sekarang, berita tersebar dimana-mana. Berbagai media sosial berlomba-lomba menampilkan berita untuk dikonsumsi khayalak umum, seperti facebook, line, dan instagram. Padahal media sosial pada awalnya digunakan hanya sebagai sarana pamer foto dan “mengintip” kegiatan yang dilakukan oleh teman-teman terdekat.
Tak dapat dipungkiri di era digital ini, banyak hal yang dipermudah, apalagi untuk mendapatkan berita terkini. Hal tersebut didukung dengan adanya kebebasan untuk berpendapat. Semua orang di Indonesia bebas untuk menyuarakan opininya, entah itu secara langsung atau melalui media sosial, sehingga begitu banyak berita bertebaran di beranda media sosial masing-masing. Tentu hal tersebut bukanlah masalah selama berita yang disebarkan benar dan tidak mengandung unsur kebencian. Pada kenyataannya berita “hoax” ada dimana-mana. Berita dengan judul kontroversial semakin diminati. Masalah tersebut semakin tak terkendali dengan adanya oknum-oknum yang mendirikan “media mirip pers.”
Sebagai jurnalis yang baik tentu harus ikut serta dalam mengatasi masalah ini. Salah satu solusinya adalah membudayakan budaya malu. Maksudnya adalah seorang jurnalis harus memiliki rasa malu ketika dia menyebarkan suatu berita yang salah. Dengan adanya rasa malu tersebut, otomatis sebelum menyebarkan suatu berita, dia akan melakukan verifikasi berulang-ulang. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mengatakan bahwa esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi. Verifikasi yang dilakukan secara berulang-ulang dapat meminimalisir kesalahan dalam menyampaikan berita.
Tentu masalah ini bukan hanya tanggung jawab pihak jurnalis saja, melainkan masyarakat pada umumnya harus ikut serta dalam menyelesaikan masalah berita-berita “hoax” yang bertebaran dimana-mana. Bagi masyarakat, budaya malu juga dapat diterapkan untuk menangani kasus ini. Sebagai masyarakat yang baik, tentunya harus memiliki rasa malu ketika ikut serta membagikan (share) berita “hoax” kepada orang lain. Sekali lagi, verifikasi menjadi langkah yang ampuh untuk mengurangi jumlah berita “hoax” tersebar. Tidak terpancing dengan berita berjudul kontroversial, tidak asal membagikan sebelum membaca berita sepenuhnya, dan tidak hanya mengacu pada satu sumber saja merupakan hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat untuk membantu menangasi masalah ini.
Di zaman yang sulit ini, penting sekali bagi kita menyebarkan kebahagiaan dan kegembiraan kapan dan di mana pun selagi masih bisa. Apakah itu menyebarkan berita yang benar atau bahkan hanya memberi senyuman indah. Terkadang dibutuhkan upaya lebih serta kesadaran yang tinggi untuk menyampaikan kata-kata positif daripada kata-kata negatif, dan melakukan hal-hal positif ketimbang yang negatif. Tetapi, yakinlah bahwa pengaruh riak kebaikan tersebut sangat kuat.