“You have three memories on this day.”
Ketika aku sedang asyik membaca koran, ditemani dengan es kopi, tiba-tiba ada notifikasi tsb di gawai. Aku membaca kenangan tersebut, yang salah satunya berbunyi seperti ini :
“Yeah, sudah lama sekali rasanya berat badanku tidak seringan ini. Ringan? Wkwk
Butuh pengorbanan untuk sekadar mencapai berat badan ini, tidak makan selama 2-3 hari.”
Itu adalah kenangan tiga tahun yang lalu. Aku menulisnya di aplikasi Day One beserta foto kakiku yang berdiri di atas timbangan, dengan judul angka berat badanku.
Tiga tahun yang lalu adalah masa-masa #dirumahaja karena pandemi Covid-19 yang sedang marak-maraknya. Aku tidak bisa keluar rumah untuk jalan-jalan. Kebanyakan waktuku kugunakan untuk nonton film/drama atau membaca buku. Tiba-tiba aku menemukan game masa kecilku di internet, Tatctics Ogre: Let Us Cling Together. Aku bukanlah gamer. Ini adalah game satu-satunya yang pernah kumainkan di gawaiku.
Jadilah aku memainkan game tsb selama 3 hari penuh. Tidak nonton film/drama. Pun tidak baca buku. Tidak keluar kamar, kecuali untuk buang tai dan kencing. Aku juga tidak mandi. Tidak makan, kecuali camilan. Hanya main game, berusaha untuk langsung menamatkannya. Mataku menghitam seperti panda. Berat badanku turun beberapa kilo. Luar biasa. Hahaha.
Begitulah rutinasku di pagi hari, selain membaca koran, aku juga membaca kenangan-kenangan di aplikasi Day One. Aku sengaja mengatur agar notifikasi kenangannya muncul di pagi hari. Sedangkan untuk menulis diary-nya sendiri lebih tentatif, tapi kebanyakan kulakukan di malam hari menjelang tidur.
Kenangan yang lebih personal

Sumber : Unsplash
Fitur kenangan di aplikasi Day One mirip dengan yang dimiliki Facebook. Tapi, jika kenangan di Facebook cenderung ingin kuhapus (karena mengungkap banyak hal memalukan di masa remaja), tidak dengan di Day One. Aku malah ingin memeluk erat kenangan-kenangan tersebut.
Kenangan di Day One lebih personal. Tulisanku lebih jujur dan apa adanya. Tidak ada sensor, ada banyak kata makian di sini. Pun aku juga menulis banyak rahasia yang selama ini kututup rapat-rapat. Aku tidak harus menulis dengan kata-kata indah sebagaimana di media sosial, karena menulis jurnal bukanlah untuk membuat orang lain kagum membacanya. Aku menulis untuk diriku sendiri.
“Ketika aku mau keluar ke Indomaret, aku melihat ada orang tua yang duduk di depan rumah Bu Catur. Tukang jahit sepatu. Aku teringat punya sandal yang putus. Tapi aku terus jalan.
Kemudian, aku kembali lagi karena kesempatan seperti ini jarang sekali terjadi.
Murah, cuma 5k.
Sepulang dari Indomaret, sandalnya sudah ada di depan rumah, dan kakek tsb sudah tidak ada. Aku rasa pertemuan yang seperti ini yang dinamakan kebetulan.
Kakek itu berterima kasih padaku. Somehow, aku kagum pada orang-orang seperti itu, yang bekerja keras demi sesuap nasi. Menolak usaha yang mudah, misal meminta-minta. Walakin menjadi pengemis juga susah sebenarnya …”
Itu adalah kenangan setahun yang lalu, disertai foto sandalku yang telah dijahit. Seringkali retrospeksi yang telah kutulis membuatku merenung, merasakan kembali momen yang telah lalu.
Perasaanku campur aduk setiap membaca kenangan di Day One. Bangga karena aku sudah sampai sejauh ini, dan baik-baik saja. Aku berbisik pada diri sendiri, “You did it, Bay!” ketika membaca kenangan tentang perjuangan hidupku. Terkadang aku juga merasakan rindu yang amat menyesakkan dada ketika membaca kenangan tentang kelinci kesanganku, Wooly. Atau kenangan bersama doi. Tiba-tiba merasa galau, berharap bisa mengulangi momen itu sekali lagi. Macam-macam curhatan yang telah kutulis di aplikasi Day One.
Tidak melulu indah memang. Bahkan kenangan yang buruk sekalipun bisa kubaca sambil tersenyum (kecut) atau tertawa. Aku memeluk semua kenangan yang telah kutulis, baik kenangan indah atau buruk.
“We write to taste life twice, in the moment and in retrospection.” – Anais Nin
Pernah dengar quotes itu? Bukan hanya dua kali, menulis diary membuatku merasakan hidup berkali-kali.
Writer : Bayu Rakhmatullah