Selama setahun terakhir, pandemi Covid-19 memaksa banyak orang untuk berkegiatan di rumah saja, mulai dari WFH (work from home), belajar dari rumah dkk. Kondisi tersebut mengakibatkan penggunaan gawai meningkat. Alih-alih agar tetap produktif di masa pandemi, penggunaan gawai yang berlebihan juga menyebabkan banyak orang mengalami berahi digital atau yang biasa disebut kecanduan.
“Aku gak bisa tidur kalo belum scrolling Instagram dulu. Aku juga menderita insomnia.”
“Aku menghabiskan kurang lebih 6 jam sehari untuk main game. Kalo weekend lebih dari 6 jam. Main game itu kalo lagi seru-serunya jadi lupa waktu.”
“Setiap hari aku harus update story. Kalo enggak, seperti ada yang hilang.”
“Banyak waktu yang kuhabiskan untuk melihat siapa saja yang sudah melihat storyku. Doi udah lihat atau belum ya? Begitu terus.”
“Aku merasa cemas jika gawai tidak ada di dekatku. Bahkan kalo lagi di-charge pun, aku ada di samping gawaiku.”
Begitulah cerita teman-temanku yang mengalami kecanduan terhadap gawai. Bukan hanya teman-temanku, yang termasuk golongan dewasa muda yang mengalami kecanduan gawai, melainkan anak-anak juga menjadi korbannya. Dilaporkan bahwa ratusan anak masuk Rumah Sakit Jiwa akibat kecanduan gawai (Kompas).

Sumber : Pixabay
Ketika gawai digunakan hanya untuk hiburan, maka kecanduan menjadi tak terhindarkan. Oleh karena itu, penting sekali mengalihkan fungsi gawai selain sebagai hiburan untuk kegiatan-kegiatan yang lebih produktif. Berkarya lewat gawai.
Tips mengurangi candu
Tips utama mengurangi kecanduan terhadap gawai yaitu meningkatkan kesadaran itu sendiri. Kesadaran harus terus dibangun agar lekas sadar bahwa penggunaan gawai sudah berlebihan. Seperti halnya Instagram, terdapat fitur pengingat jika penggunaan sudah melewati batas tertentu. Pun ada juga beberapa aplikasi di Play Store yang membantu pengguna mengatasi masalah adiksi gawai, seperti halnya Forest.
Penggunaan gawai yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan kognitif seseorang. Hal ini perlu disadari oleh semua orang, terlebih orang tua yang hendak mengenalkan gawai terhadap anak-anaknya. Resiko kecanduan gawai terhadap anak-anak cukup besar, apalagi mereka juga belum cukup memahami resiko itu sendiri. Kemampuan berpikir anak-anak belum matang, sehingga mereka belum bisa memahami seutuhnya konsekuensi atas tindakan mereka.
“Ketergantungan pada teknologi berbahaya jika kesadaran kritis mengenai dampaknya belum terbangun.”

Sumber : Pixabay
Masih banyak orang yang gawainya dipenuhi dengan aplikasi-aplikasi hiburan. Padahal fungsi gawai tidak melulu hiburan, tapi juga bisa membantu produktivitas sehari-hari. Ada banyak aplikasi di Play Store yang bisa digunakan untuk berkarya, pun ada pula aplikasi yang mendukung agar tetap produktif. Sudah saatnya memanfatkan gawai lebih bijak, tidak melulu untuk hiburan.
Puasa digital
Meski gawai digunakan dalam rangka produktif, berhubungan dengan pekerjaan atau berkarya, penggunaan gawai tetap harus dibatasi. Penggunaan gawai yang berlebihan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Paparan piksel gawai terus-menerus membuat kerja otak dalam bernalar berubah signifikan. Kemampuan kognisi lalu mendangkal. Selain itu, kemampuan komprehensif yang dalam, tereduksi (Kompas).
Puasa digital menjadi solusi yang ampuh untuk mengatasi adiksi terhadap gawai. Cara ini telah dilakukan oleh banyak orang untuk mengurangi ketergantungan terhadap gawai. Caranya adalah dengan uninstall aplikasi pada gawai yang paling menyita waktu dan tidak produktif, misal aplikasi sosmed, game, streaming VOD (Video On Demand) dkk. Ada pula cara yang lebih ekstrem, yaitu tidak menggunakan gawai sekaligus.
Puasa digital ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu, sesuai komitmen pribadi, misal 1 pekan atau 1 bulan. Semakin panjang durasinya, semakin bagus. Terbukti dengan produktivitas yang semakin meningkat, bahkan ada juga yang semakin menikmati puasa digital, karena hidup makin tenang dan damai.
Tidak mudah memang untuk sekadar melakukan puasa digital, terlebih bagi yang belum pernah melakukannya. Puasa digital terasa paling berat pada hari-hari pertama. Muncul perasaan yang campur aduk antara panik, khawatir dan penasaran. Ingin segera menggunakan gawai, install kembali berbagai aplikasi yang telah dihapus. Tapi, perasaan itu harus dilawan. Alihkan ke kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti membaca buku, meditasi, olahraga, dkk. Butuh komitmen besar memang untuk melakukan puasa digital. Namun, seiring berjalannya waktu, kamu akan terbiasa tidak menggunakan gawai.

Sumber : Dokumentasi pribadi (Shutterstock)
Aku termasuk yang terbiasa melakukan puasa digital. Sejak aku mengikuti meditasi Vipassana selama 12 hari di Bogor, aku rutin melakukan puasa digital. Ketika aku merasa bahwa produktivitasku menurun atau kesehatan mentalku mulai terganggu akibat penggunaan gawai yang berlebihan, aku akan melakukan jeda sejenak, puasa digital. Hal ini rutin kulakukan agar produktivitas dan kesehatan mentalku tetap terjaga dengan baik.
Writer : Bayu Rakhmatullah